Alhamdulillahi
robbil ‘alamin, nahmaduhu wa nasta’inuhu wanastagfiruhu, wana’udzubillahi min
syururi anfusina wa min sayyi’ati a’malina. Laa haula walaa quwwata illaa
billah... Kali ini ane mau berbagi tentang sikap kita menghadapi ‘Pesta
Demokrasi’, atau dengan kata lain Pemilu 2014. Namun sebelum ane bagikan
pemikiran ane terkait topik tersebut, ane mau tegaskan bahwa di sini ane tidak
termasuk ke dalam golongan manapun, baik itu yang menentang maupun sejalan
dengan sistem yang berlaku di Indonesia saat ini. Jadi, tulisan ini pure 100% merupakan pemikiran ane
terkait topik tersebut.
Berawal
dari menyimak beberapa grup Facebook yang
bertemakan Al-Islam. Ane perhatikan setiap hari selalu saja ada postingan-postingan
yang entah itu mengajak berdiskusi ataupun memang melalui postingan itu sang
penulis ingin ‘menjatuhkan’ pihak lain yang bertentangan dengan pemikirannya.
Allahu a’lam... Sekedar informasi, grup yang ane simak tersebut terdiri atas
member yang memang heterogen (dalam hal pemikiran) namun tetap homogen (dalam
aspek aqidah). Hal yang selalu terngiang dalam pikiran ane sampai saat ini
adalah, kenapa sih muslim Indonesia selalu saja membesar-besarkan perbedaan
pemikiran/golongan padahal kan selama kita muslim dan mengimani rukun Islam dan
rukun Iman, kita masih dalam satu panji, jihad fii sabilillah?
Baiklah
kembali kepada topik. Agar lebih memudahkan kita mencerna isi tulisan ini, akan
ane kelompokkan golongan-golongan yang ane maksudkan. Kelompok pertama ane
sebut golongan anti-demokrasi, yang merupakan golongan yang tidak sejalan
dengan diadakannya sistem pemilu, kelompok ini lah yang nantinya akan ‘mengajak’
muslim lainnya agar Golput pada pemilu 2014. Kelompok kedua ane sebut golongan
pro-demokrasi, yang merupakan golongan yang ‘katanya’ ingin memperbaiki sistem
demokrasi yang berlaku di Indonesia, kelompok ini lah yang menyeru umat islam
Indonesia agar tidak Golput dalam pemilu nanti. Perdebatan sengit terkadang
melibatkan kedua kelompok tersebut dengan topik dan tema yang selalu sama, ‘Pesta
Demokrasi’ atau Pemilu 2014. Anti-demokrasi memberi fatwa bahwa demokrasi
Haram, siapapun yang terlibat dalam sistem maka amalannya tidak akan diterima
oleh-Nya. Sedangkan pro-demokrasi berpendapat bahwa memang demokrasi bukan
sistem islam, namun untuk mengubah sistem demokrasi menjadi sistem islam
(Khilafah) tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, perlu adanya pendekatan
dan eksistensi umat agar masyarakat percaya dengan sistem baru yang akan
dibentuk nanti (Khilafah).
Berhubung
ane masih awam dengan kedua sistem tersebut, jadi apa yang ane tulis di sini
merupakan simpulan (menurut pemikiran ane) terkait sikap yang seharusnya kita
renungkan dalam menghadapi Pesta Demokrasi nanti. Sejujurnya ane sependapat
dengan apa yang dilontarkan kelompok anti-demokrasi, bahwa tidak ada kemuliaan
tanpa islam, dan tidak sempurna islam tanpa syariat. Dalam lanjutannya
berbunyi, takkan tegak syariat tanpa Daulah Khilafah Rosyidah. Sejujurnya ane
sangat sependapat dengan pemikiran tersebut. Namun ane pun sependapat pula
dengan kelompok pro-demokrasi, bahwa membentuk suatu negara tidaklah semudah
apa yang kelompok anti-demokrasi pikirkan. Menurut kelompok anti-demokrasi,
kita tidak perlu terlibat dalam sistem demokrasi, yang harus dilakukan adalah
muslim Indonesia harus satu suara dalam menentang dan mendesak agar sistem tersebut
diganti oleh sistem yang baru, sistem Khilafah. Ya, kalau yang ane tangkap dari
perbincangan kedua kelompok tersebut, sebenarnya mereka sama-sama memimpikan
suatu sistem kenegaraan yang sempurna, sistem yang sudah terbukti berhasil memakmurkan
warganya selama kurang lebih 14 abad, dan sistem yang sempat menjadi pusat perhatian
dunia pada masanya, yaitu Daulah Khilafah Rosyidah. Ane yakin kedua kelompok
tersebut sama-sama memimpikan hal tersebut, karena menurut Al-Quran dan
bisyaroh (perkataan/janji) Rasulullah SAW, pada akhirnya nanti Islam-lah yang akan
berjaya dari umat-umat yang lainnya, dan ketika masa itu tiba sosok Khalifah
yang diimpikan akan muncul di tengah-tengah umat islam.
“Wa’adallaahulladziina
aamanu minkum wa ‘amilushshoolihaati laa yastahlifannahum fil ardli. Allah telah berjanji kepada orang-orang yang
beriman dan yang beramal sholih, bahwa mereka akan diberikan kekuasaan oleh
Allah di muka bumi.” (QS
An-Nuur 24:55)
“Takuunu
nubuwwatu fiikum maasyaa-Allaahu an takuuna tsumma yarfa’uha idzaa syaa-a an
yarfa’ha. Tsumma takuunu khilaafah ‘alaa minhajin-nubuwwah fatakuunu
maasyaa-Allaahu an takuuna tsumma yarfa’uhaa idzaa syaa-a an yarfa’ha tsumma
takuunu mulkan ‘aadldlon fayakuunu maasyaa-Allaahu an yakuuna tsumma yarfa’uha
idza syaa-a an yarfa’ha. Tsumma takuunu mulkan jabariyyah. Tsumma takuunu
khilaafah ‘alaa minhajin-nubuwwah. Tsumma sakata. Akan ada kenabian
di antara kalian dan kenabian ini berlangsung beberapa lama kemudian diangkat
oleh Allah SWT. dengan izin Allah. Kemudian, setelah masa kenabian itu akan ada
khilafah ‘alaa minhaajin-nubuwwah yang berlangsung beberapa lama, kemudian
diangkat oleh Allah SWT. Kemudian kekuasaan yang dholim berlangsung beberapa
lama, kemudian diangkat oleh Allah SWT., kemudian kepemimpinan yang diktator
berlangsung beberapa lama, kemudian kekuasaan ini diangkat oleh Allah SWT. Dan
kepemimpinan yang terakhir yang akan menaungi umat Islam seluruh dunia. Dan
akan muncul kembali khilafah ‘alaa minhajin-nubuwwah, khilafah yang sesuai
dengan metode kenabian, kemudian rasul terdiam.” (HR Ahmad dan HR Abu Daud)
Terkait
dengan ‘Pesta Demokrasi’ atau Pemilu 2014, ane mengajak kepada para pembaca,
yuk kita renungkan kembali dampak positif dan negatif pilihan kita kelak.
Berhubung kita berada di Indonesia yang saat ini menganut sistem demokrasi, mau
tak mau kita akan menghadapi Pesta Demokrasi tersebut. Pilihan kita adalah
tidak ikut serta ‘merayakan’ pesta tersebut (Golput) atau sebaliknya (tidak
golput). Menurut ane, apabila kita memilih golput, berarti secara tidak
langsung memungkinkan kita untuk membiarkan kafir (non-muslim) Indonesia
berkuasa untuk negeri ini, dan apabila itu terjadi tugas kita mewujudkan impian
kita akan semakin berat. Namun apabila kita memilih tidak golput, berarti
secara tidak langsung juga kita sudah ikut serta ‘merayakan’ pestanya orang
kafir. Keduanya jelas memiliki tujuan masing-masing. Perbedaan cara berjihad
sajalah yang melandasi pemikiran keduanya. Jadi, pilihan golput atau tidak
golput kelak pasti akan memiliki resiko masing-masing. Innamal a’malu binniyah,
sungguh amal itu bergantung niatnya. Apapun yang akan kita pilih, sudah
sepatutnya kita bertawakal kepada Allah agar diberikan pilihan yang terbaik. Dan
satu hal yang WAJIB kita niatkan mulai dari sekarang yaitu, apapun pilihan kita
kelak niatkan dalam hati, “Saya memilih atas dasar Jihad Fii Sabilillah, semoga
Allah memberkahi pilihan saya.”
#YukMenulis #BeInspiring
#LaaHaulaWalaaQuwwataIllaaBillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar