Seperti
biasa perbincangan terjadi antara seorang mahasiswa dengan penjaga rumah makan.
Layaknya seseorang yang kritis dengan kondisi negara, selalu saja perbincangan
mereka terkait kebijakan negara dan pandangannya terhadap Islam. Awalnya ku
kira mereka berdua sama-sama berasal dari harokah/pergerakan/organisasi yang
sama, yaitu harokah yang selalu mengusungkan hukum syariat berlaku di
Indonesia. Tak perlu kusebutkan apa yang kumaksud dengan harokah tersebut. Setelah
berkali-kali ku datang dan menyimak topik pembicaraan mereka, ternyata dapat
kutarik simpulan hipotesis awalku ternyata salah, mereka berdua hanyalah
seorang muslim yang memang telah mendapat pendidikan agama (yang kubilang cukup
kental) sejak kecil dari lingkungannya namun tak satupun dari mereka yang
tertarik untuk ikut salah satu harokah.
Bervariasi
topik pembicaraan yang terjadi antara keduanya. Pernah kusimak perbincangan
mereka terkait kenaikan gas elpiji yang baru-baru ini telah menjadi bahan
pembicaraan yang cukup menarik perhatian seluruh masyarakat Indonesia. Seperti
yang sudah kukatakan sebelumnya, mereka berdua merupakan orang-orang yang
kritis terhadap fenomena atau kejadian yang terjadi di Indonesia. Ya, dengan naiknya
harga gas elpiji, tentu sangat menarik perhatian mereka berdua untuk
menjadikannya topik pembicaraan saat itu. Berikut sepenggal perbincangan antara
keduanya, yang kusimpulkan tanpa mengurangi makna sebenarnya. Nama keduanya
sengaja ku samarkan, Wendy sebagai mahasiswa dan Ilman sebagai penjaga rumah
makan.
“Ah, trik SBY saja itu mah. Mau lengser aja
cari-cari pencitraan...” Ungkap Ilman membuka pembicaraan saat itu.
“Elpiji kang? Hahaha... Trik lama. Dulu (5
tahun yang lalu) BBM, sekarang elpiji. Begitulah kang kerjaan para stake holder
pemerintahan, giat mencari pencitraan.” Balas Wendy menanggapi.
“Padahal kan seharusnya SBY tahu akan
kenaikan harga ini sebelumnya. Kemarin sebelum BBM naik, ingat kan rapat/pembahasannya
saja memakan waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Lah sekarang elpiji
naik kok gak kedengaran pembahasannya? Atau memang dibahas, tapi yang dibahas saat
itu sengaja pembahasan strategi mencari pencitraan sebelum pemilu?” Jelas
Ilman dengan nada sinis.
Pembahasan
pun beralih dari membahas harga elpiji menuju pemilu 2014. Memang begitulah
adanya, gemar sekali mereka mengganti topik pembicaraan. Sehingga, setelah ku amati,
dalam 1 kali pertemuan, bisa mencapai 3-7 topik pembahasan. Ya, sekali lagi
memang mereka ku anggap sebagai orang-orang yang memang kritis dengan keadaan
Indonesia saat ini. Dan uniknya selalu saja ada topik perbincangan yang dapat mereka
perbincangkan.
“Alih-alih pemilu yang luber (langsung, umum,
bebas, dan rahasia), kita lihat saja hasilnya nanti ya kang? Bisa gak nih
Presiden terpilih nanti benar-benar pro terhadap masyarakat, bukan hanya takut
dengan negara adidaya. Ngomong-ngomong sudah ada calon kang? Golput gak nih?”
Tanya Wendy dengan nada bercanda.
“Calon apa? Presiden? Wah ana bukannya setuju
dengan golput, tapi ana pilih-pilih, Wen, terutama dalam memilih pemimpin
nanti. Kriteria pemimpin menurut ana, yang pertama HARUS Muslim laki-laki. Ana
gak suka perempuan-perempuan yang mencalonkan diri sebagai pemimpin.” Jelas
Ilman meyakinkan.
“Ya iya atuh kang...” Sela Wendy seraya
meneruskan, “... Masa iya pemimpin
seorang perempuan. Sudah menyalahi kodrat, betul kang? Jangan lah sok-sok
mengatasnamakan emansipasi.”
“Yang kedua, pemimpin ana harus dekat dengan
Al-Quran. Jangan sampai membaca info-info negara tetangga saja giat, tetapi
membaca Al-Quran malas-malasan. Yang ketiga, pemimpin menurut ana harus berani
dan tegas meletakkan syariat di atas segala-galanya. Ana gak mau polemik Polisi
Berhijab terjadi lagi kelak. Kalau capres nanti ada yang memenuhi kriteria itu,
ana gak segan-segan pilih dia.” Lanjut Ilman menjelaskan.
“Wah kang mantap lah. Tapi bagaimana kita
tahu calon-calon nanti tidaklah serigala berbulu domba, kang? Hehehe... Tuh
baru kejadian kemarin, partai yang katanya partai dakwah, eh pemimpinnya malah
kena KPK.” Sindir Wendy terkait kasus impor sapi yang baru-baru ini menjadi
pusat pemberitaan Indonesia.
Jujur
sebenarnya aku bukanlah orang-orang yang dapat dengan mudah memaknai
perbincangan mereka. Mungkin perbincangan sesungguhnya jauh lebih ekstrem dari
yang kutuliskan di atas. Aku hanya menyimpulkan apa yang aku cerna dari
perbincangan mereka berdua, tentunya insya Allah tanpa mengurangi makna yang
sesungguhnya.
“Untuk partai dakwah yang ente sebutkan tadi,
ana gak tahu apa itu ‘permainan’ stake holder dan media atau memang seperti itu
adanya. Toh, sampai saat ini belum ada hasil yang dapat memutuskan bersalah
tidaknya beliau. Hanya media saja terlalu membesar-besarkan. Berbeda dengan
kasus Wisma Atlet, apa sudah selesai perkaranya? Apa sekarang masih terdengar
kasusnya di media?” Balik Ilman menyindir kasus yang dialami pejabat
pemerintahan yang tentunya merupakan rekan satu partai dengan sang presiden.
“Benar juga kang. Sekarang umat muslim
Indonesia sudah sangat terpojokkan. Media Yahudi sekarang sedang berkuasa di
Indonesia. Segala bentuk pemberitaan sudah mereka konspirasikan sebelumnya. Tak
ayal berita-berita yang ada sekarang terkesan berat sebelah. Pihak pemerintah
dan koalisinya lebih diuntungkan saat ini.” Jelas Wendy memberi
pendapatnya.
Semakin
jauh, pembicaraan mereka terkesan semakin berat. Akhirnya aku pun memutuskan untuk
meninggalkan mereka berdua melanjutkan perbincangannya. Bukan karena aku tak
peduli sehingga aku memutuskan pergi tanpa meninggalkan pesan di tengah-tengah
perbincangan mereka berdua, hanya saja kukira merupakan hal yang cukup membuang
waktu mengadakan perbincangan tanpa ada hasil yang dapat direalisasikan
selanjutnya. Ya, aku beranggapan perbincangan mereka hanya sebatas tukar
pikiran antar sesama muslim yang kurang puas dengan pemerintahan yang ada
sekarang. Sejujurnya aku pun kecewa dengan Pemerintah Indonesia saat ini. Benar
kata Wendy dan Ilman di atas, umat muslim Indonesia sekarang sedang dipojokkan.
Media Pemerintah lah yang sekarang berkuasa mendoktrin masyarakat Indonesia
dengan pemikiran-pemikiran yang mereka tuangkan melalui berita yang disajikan. “Yang penting sekarang, berita itu harus bisa
menjual. Masalah tepat tidaknya, selagi ada fakta yang dapat disajikan cukup
kok dikatakan tepat, walaupun terdapat fakta lain yang bertentangan.”
Itulah kurang lebih dalil yang menjadi landasan media dalam menampilkan
berita-beritanya. Berikut ada gambar yang menarik yang dapat mendefinisikan
keadaan media saat ini.
Sebuah
peperangan tidaklah selamanya berbentuk fisik, layaknya peperangan yang dialami
Rasulullah SAW beserta para sahabatnya, rodiyallahu
anhum. Semakin berkembang suatu zaman, maka semakin banyak jalan menuju
peperangan tersebut. Contohnya, era yang kita alami saat ini (yang katanya era
modern ini), sebuah peperangan fisik sudahlah tidak menjadi suatu hal yang
populer dibanding beberapa abad yang lalu (walaupun tak bisa dielakkan sekarang
pun masih ada perang fisik, Palestina dan negara muslim lainnya). Manusia zaman
sekarang memiliki perkembangan otak yang cukup baik. Tidak selamanya perang
dapat dilalui melalui perang fisik. Perang fisik adalah jalan terakhir yang
mungkin ditempuh untuk memantapkan kedudukan suatu kaum terhadap kaum lainnya.
Selebihnya disadari atau tidak perang yang sesungguhnya yang sedang kita alami
saat ini antara lain: Perang Pemikiran, Perang Kebudayaan, dan Perang
Penjajahan. Dan kesemuanya memiliki perangkat atau senjata yang sama, yaitu
Media.
Perang
Pemikiran jelas sekali bagaimana para media buatan pemerintah dan
antek-anteknya mendoktrin masyarakat Indonesia untuk sepemahaman dengan
pemikiran-pemikiran yang mereka sajikan. Melalui media ini, pemerintah
melakukan aksi pencitraannya agar masyarakat Indonesia memandang baik sistem
pemerintahan yang sedang dijalankan. Ya, aku katakan tak salah pemerintah
menempuh jalan seperti ini. Bagaimanapun pemerintah memerlukan suatu pencitraan
agar segala kebijakannya dapat diterima masyarakat. Mengapa disebut perang?
Karena tak jarang melalui pemberitaan media tersebut kita diminta untuk
menerima mentah-mentah apa yang mereka sajikan. Keterbatasan fakta dan
informasi yang sebenarnya seringkali kita temui saat kita ingin mengklarifikasi
berita yang disajikan tersebut. Alhasil, disadari atau tidak pemikiran kita pun
akan otomatis mengikuti pemikiran para media tersebut.
Perang
Kebudayaan. Inilah hal yang sering kita tak sadari. Dan kukatakan hal ini tak
lepas akibat lembeknya pemerintah dalam
menyaring segala bentuk kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia. Apabila kita
berbicara negara Indonesia, mungkin kalian setuju apabila kukatakan budaya asli
Indonesia saat ini mengalami masa-masa yang sangat kritis, dimana saking kita
terlena budaya asing sampai-sampai kita lupa akan budaya asli kita sendiri.
Batik, lagu-lagu daerah, mungkin sebagian kecil contohnya. Hina menghina di
depan khalayak dengan alasan komedi/hiburan lah yang sekarang menjadi ternd
masyarakat Indonesia. Itu apabila kita berbicara terkait negara Indonesia.
Sekarang kalau disangkutpautkan dengan Islam, negara yang katanya memiliki
penduduk Islam tebesar di dunia ini, apakah juga melakukan budaya-budaya yang
Islam ajarkan? Apakah mengucapkan “Selamat *beribadah* (kepada agama lain), dan
Selamat Tahun Baru”, serta meniup terompet atau menghambur-hamburkan uang demi
merayakan perayaan hari tertentu, adalah budaya yang Islam ajarkan?
Perang
Penjajahan. Inilah akhir dari segala perang yang ada. Pada perang fisik, selama
penjajahan wilayah belum bisa diraih, maka selama itulah perang ini terjadi. Pada
perang pemikiran dan kebudayaan pun begitu. Selama pemikiran dan budaya baru
yang diusungkan belum bisa menjajah atau menjadi bagian hidup sang lawan, maka
selama itu pula lah perang ini akan selalu ada. Sadarkah kita telah dijajah
kaum barat (tepatnya Yahudi) dalam hal pemikiran dan kebudayaan? Allahu a’lam
bish showab...
#YukMenulis
#BeInspiring #LaaHaulaWalaaQuwwataIllaaBillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar