Allah

Kamis, 09 Januari 2014

HAL YANG SERINGKALI TAK KITA SADARI... *Renungan baca sampai akhir*





Seperti biasa perbincangan terjadi antara seorang mahasiswa dengan penjaga rumah makan. Layaknya seseorang yang kritis dengan kondisi negara, selalu saja perbincangan mereka terkait kebijakan negara dan pandangannya terhadap Islam. Awalnya ku kira mereka berdua sama-sama berasal dari harokah/pergerakan/organisasi yang sama, yaitu harokah yang selalu mengusungkan hukum syariat berlaku di Indonesia. Tak perlu kusebutkan apa yang kumaksud dengan harokah tersebut. Setelah berkali-kali ku datang dan menyimak topik pembicaraan mereka, ternyata dapat kutarik simpulan hipotesis awalku ternyata salah, mereka berdua hanyalah seorang muslim yang memang telah mendapat pendidikan agama (yang kubilang cukup kental) sejak kecil dari lingkungannya namun tak satupun dari mereka yang tertarik untuk ikut salah satu harokah.


Bervariasi topik pembicaraan yang terjadi antara keduanya. Pernah kusimak perbincangan mereka terkait kenaikan gas elpiji yang baru-baru ini telah menjadi bahan pembicaraan yang cukup menarik perhatian seluruh masyarakat Indonesia. Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, mereka berdua merupakan orang-orang yang kritis terhadap fenomena atau kejadian yang terjadi di Indonesia. Ya, dengan naiknya harga gas elpiji, tentu sangat menarik perhatian mereka berdua untuk menjadikannya topik pembicaraan saat itu. Berikut sepenggal perbincangan antara keduanya, yang kusimpulkan tanpa mengurangi makna sebenarnya. Nama keduanya sengaja ku samarkan, Wendy sebagai mahasiswa dan Ilman sebagai penjaga rumah makan.

Ah, trik SBY saja itu mah. Mau lengser aja cari-cari pencitraan...” Ungkap Ilman membuka pembicaraan saat itu.

Elpiji kang? Hahaha... Trik lama. Dulu (5 tahun yang lalu) BBM, sekarang elpiji. Begitulah kang kerjaan para stake holder pemerintahan, giat mencari pencitraan.” Balas Wendy menanggapi.

Padahal kan seharusnya SBY tahu akan kenaikan harga ini sebelumnya. Kemarin sebelum BBM naik, ingat kan rapat/pembahasannya saja memakan waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Lah sekarang elpiji naik kok gak kedengaran pembahasannya? Atau memang dibahas, tapi yang dibahas saat itu sengaja pembahasan strategi mencari pencitraan sebelum pemilu?” Jelas Ilman dengan nada sinis.

Pembahasan pun beralih dari membahas harga elpiji menuju pemilu 2014. Memang begitulah adanya, gemar sekali mereka mengganti topik pembicaraan. Sehingga, setelah ku amati, dalam 1 kali pertemuan, bisa mencapai 3-7 topik pembahasan. Ya, sekali lagi memang mereka ku anggap sebagai orang-orang yang memang kritis dengan keadaan Indonesia saat ini. Dan uniknya selalu saja ada topik perbincangan yang dapat mereka perbincangkan.

Alih-alih pemilu yang luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia), kita lihat saja hasilnya nanti ya kang? Bisa gak nih Presiden terpilih nanti benar-benar pro terhadap masyarakat, bukan hanya takut dengan negara adidaya. Ngomong-ngomong sudah ada calon kang? Golput gak nih?” Tanya Wendy dengan nada bercanda.

Calon apa? Presiden? Wah ana bukannya setuju dengan golput, tapi ana pilih-pilih, Wen, terutama dalam memilih pemimpin nanti. Kriteria pemimpin menurut ana, yang pertama HARUS Muslim laki-laki. Ana gak suka perempuan-perempuan yang mencalonkan diri sebagai pemimpin.” Jelas Ilman meyakinkan.

Ya iya atuh kang...” Sela Wendy seraya meneruskan, “... Masa iya pemimpin seorang perempuan. Sudah menyalahi kodrat, betul kang? Jangan lah sok-sok mengatasnamakan emansipasi.

Yang kedua, pemimpin ana harus dekat dengan Al-Quran. Jangan sampai membaca info-info negara tetangga saja giat, tetapi membaca Al-Quran malas-malasan. Yang ketiga, pemimpin menurut ana harus berani dan tegas meletakkan syariat di atas segala-galanya. Ana gak mau polemik Polisi Berhijab terjadi lagi kelak. Kalau capres nanti ada yang memenuhi kriteria itu, ana gak segan-segan pilih dia.” Lanjut Ilman menjelaskan.

Wah kang mantap lah. Tapi bagaimana kita tahu calon-calon nanti tidaklah serigala berbulu domba, kang? Hehehe... Tuh baru kejadian kemarin, partai yang katanya partai dakwah, eh pemimpinnya malah kena KPK.” Sindir Wendy terkait kasus impor sapi yang baru-baru ini menjadi pusat pemberitaan Indonesia.

Jujur sebenarnya aku bukanlah orang-orang yang dapat dengan mudah memaknai perbincangan mereka. Mungkin perbincangan sesungguhnya jauh lebih ekstrem dari yang kutuliskan di atas. Aku hanya menyimpulkan apa yang aku cerna dari perbincangan mereka berdua, tentunya insya Allah tanpa mengurangi makna yang sesungguhnya.

Untuk partai dakwah yang ente sebutkan tadi, ana gak tahu apa itu ‘permainan’ stake holder dan media atau memang seperti itu adanya. Toh, sampai saat ini belum ada hasil yang dapat memutuskan bersalah tidaknya beliau. Hanya media saja terlalu membesar-besarkan. Berbeda dengan kasus Wisma Atlet, apa sudah selesai perkaranya? Apa sekarang masih terdengar kasusnya di media?” Balik Ilman menyindir kasus yang dialami pejabat pemerintahan yang tentunya merupakan rekan satu partai dengan sang presiden.

Benar juga kang. Sekarang umat muslim Indonesia sudah sangat terpojokkan. Media Yahudi sekarang sedang berkuasa di Indonesia. Segala bentuk pemberitaan sudah mereka konspirasikan sebelumnya. Tak ayal berita-berita yang ada sekarang terkesan berat sebelah. Pihak pemerintah dan koalisinya lebih diuntungkan saat ini.” Jelas Wendy memberi pendapatnya.

Semakin jauh, pembicaraan mereka terkesan semakin berat. Akhirnya aku pun memutuskan untuk meninggalkan mereka berdua melanjutkan perbincangannya. Bukan karena aku tak peduli sehingga aku memutuskan pergi tanpa meninggalkan pesan di tengah-tengah perbincangan mereka berdua, hanya saja kukira merupakan hal yang cukup membuang waktu mengadakan perbincangan tanpa ada hasil yang dapat direalisasikan selanjutnya. Ya, aku beranggapan perbincangan mereka hanya sebatas tukar pikiran antar sesama muslim yang kurang puas dengan pemerintahan yang ada sekarang. Sejujurnya aku pun kecewa dengan Pemerintah Indonesia saat ini. Benar kata Wendy dan Ilman di atas, umat muslim Indonesia sekarang sedang dipojokkan. Media Pemerintah lah yang sekarang berkuasa mendoktrin masyarakat Indonesia dengan pemikiran-pemikiran yang mereka tuangkan melalui berita yang disajikan. “Yang penting sekarang, berita itu harus bisa menjual. Masalah tepat tidaknya, selagi ada fakta yang dapat disajikan cukup kok dikatakan tepat, walaupun terdapat fakta lain yang bertentangan.” Itulah kurang lebih dalil yang menjadi landasan media dalam menampilkan berita-beritanya. Berikut ada gambar yang menarik yang dapat mendefinisikan keadaan media saat ini.



Sebuah peperangan tidaklah selamanya berbentuk fisik, layaknya peperangan yang dialami Rasulullah SAW beserta para sahabatnya, rodiyallahu anhum. Semakin berkembang suatu zaman, maka semakin banyak jalan menuju peperangan tersebut. Contohnya, era yang kita alami saat ini (yang katanya era modern ini), sebuah peperangan fisik sudahlah tidak menjadi suatu hal yang populer dibanding beberapa abad yang lalu (walaupun tak bisa dielakkan sekarang pun masih ada perang fisik, Palestina dan negara muslim lainnya). Manusia zaman sekarang memiliki perkembangan otak yang cukup baik. Tidak selamanya perang dapat dilalui melalui perang fisik. Perang fisik adalah jalan terakhir yang mungkin ditempuh untuk memantapkan kedudukan suatu kaum terhadap kaum lainnya. Selebihnya disadari atau tidak perang yang sesungguhnya yang sedang kita alami saat ini antara lain: Perang Pemikiran, Perang Kebudayaan, dan Perang Penjajahan. Dan kesemuanya memiliki perangkat atau senjata yang sama, yaitu Media.

Perang Pemikiran jelas sekali bagaimana para media buatan pemerintah dan antek-anteknya mendoktrin masyarakat Indonesia untuk sepemahaman dengan pemikiran-pemikiran yang mereka sajikan. Melalui media ini, pemerintah melakukan aksi pencitraannya agar masyarakat Indonesia memandang baik sistem pemerintahan yang sedang dijalankan. Ya, aku katakan tak salah pemerintah menempuh jalan seperti ini. Bagaimanapun pemerintah memerlukan suatu pencitraan agar segala kebijakannya dapat diterima masyarakat. Mengapa disebut perang? Karena tak jarang melalui pemberitaan media tersebut kita diminta untuk menerima mentah-mentah apa yang mereka sajikan. Keterbatasan fakta dan informasi yang sebenarnya seringkali kita temui saat kita ingin mengklarifikasi berita yang disajikan tersebut. Alhasil, disadari atau tidak pemikiran kita pun akan otomatis mengikuti pemikiran para media tersebut.

Perang Kebudayaan. Inilah hal yang sering kita tak sadari. Dan kukatakan hal ini tak lepas akibat  lembeknya pemerintah dalam menyaring segala bentuk kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia. Apabila kita berbicara negara Indonesia, mungkin kalian setuju apabila kukatakan budaya asli Indonesia saat ini mengalami masa-masa yang sangat kritis, dimana saking kita terlena budaya asing sampai-sampai kita lupa akan budaya asli kita sendiri. Batik, lagu-lagu daerah, mungkin sebagian kecil contohnya. Hina menghina di depan khalayak dengan alasan komedi/hiburan lah yang sekarang menjadi ternd masyarakat Indonesia. Itu apabila kita berbicara terkait negara Indonesia. Sekarang kalau disangkutpautkan dengan Islam, negara yang katanya memiliki penduduk Islam tebesar di dunia ini, apakah juga melakukan budaya-budaya yang Islam ajarkan? Apakah mengucapkan “Selamat *beribadah* (kepada agama lain), dan Selamat Tahun Baru”, serta meniup terompet atau menghambur-hamburkan uang demi merayakan perayaan hari tertentu, adalah budaya yang Islam ajarkan?

Perang Penjajahan. Inilah akhir dari segala perang yang ada. Pada perang fisik, selama penjajahan wilayah belum bisa diraih, maka selama itulah perang ini terjadi. Pada perang pemikiran dan kebudayaan pun begitu. Selama pemikiran dan budaya baru yang diusungkan belum bisa menjajah atau menjadi bagian hidup sang lawan, maka selama itu pula lah perang ini akan selalu ada. Sadarkah kita telah dijajah kaum barat (tepatnya Yahudi) dalam hal pemikiran dan kebudayaan? Allahu a’lam bish showab...


#YukMenulis #BeInspiring #LaaHaulaWalaaQuwwataIllaaBillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar