Lanjutan [Part1]...
Tak terasa tiga minggu sudah ku hidup di desa
ini. Asam manis kehidupan bermasyarakat telah ku pelajari. Rasa yang tak pernah
muncul sekuat ini pun telah kurasakan berkat adanya KKN ini. Ku berpikir,
baiklah harus ku rancang ulang rencana hidupku setelah lulus kuliah nanti. Tak
lagi berpikir ke luar negeri lalu bekerja dan menikah, namun alangkah indahnya
jika kedua hal tersebut dapat ditukar, menikah dahulu lalu urusan kerja dan ke
luar negeri bagaimana restu suami kelak. Ah, betapa indahnya memiliki
pendamping hidup. Ya, memang aku terkenal sebagai orang yang memiliki prinsip
hidup yang cukup kuat. Salah satunya yaitu aku memiliki prinsip hidup, say no to Pacaran. Aku tak ingin merasakan
bagaimana ‘nikmatnya’ pacaran, karena ku berpikir pacaran hanyalah kesempatan
para lelaki untuk ‘merasakan’ diriku sepenuhnya. Maka itu, akan ku tutup hati
ini bagi siapapun yang ingin memilikinya hingga waktunya datang kelak, termasuk
untukmu, wahai Dana. Seperti inilah caraku mencintaimu. Ku harap kau dapat
menerima dan sabar akan caraku ini.
Nafi, satu-satunya teman KKN ku yang dapat
mengerti perasaanku. Bukanlah Rahma, Siska atau mungkin Dana. Hanya Nafi orang
yang mengerti dan tahu kondisiku saat ini. Nafi lah orang yang selama kurang
lebih satu minggu terakhir aku jadikan tempat curhatku. Entah mengapa kurasakan
nyaman yang sangat begitu terasa apabila ku curahkan segala isi hatiku padanya,
dibanding Rahma ataupun Siska. Dia berperawakan agak gemuk dan tak terlalu
tinggi, namun memang tak dapat kupungkiri ia memiliki raut wajah yang tak kalah
tampan dibanding Dana. Jambang dan jenggotnya yang tipis kerimis melengkapi
ketampanan dirinya. Begitupun karakter dirinya. Seorang yang humoris, penyabar,
perhatian, dan yang terpenting ia pun rajin beribadah ke masjid. Betapa sosok
calon imam yang cukup baik menurutku.
“Apa
maksudmu, Dan?” Tanyaku tak menyangka mendengar sebuah pernyataan dari
Dana. Ya, baru saja kelompok KKN kami mengadakan pertemuan di ruang tengah
untuk membicarakan kesan pesan antar anggota kelompok selama hampir satu bulan
di desa ini. Saat ini merupakan tiga hari menjelang kepergian kami dari desa
ini. Tiga hari ke depan, kami selesai mengadakan KKN di desa ini.
“Mungkin
kamu telah mengetahui semuanya, Pit. Kamu pun telah membaca kesan pesan dari ku
bukan? Ya, kutuliskan itu semua hanya untukmu, Pit. Itulah apa yang sebenarnya
hatiku ingin sampaikan kepadamu.” Jelasnya mengharapkan sesuatu dariku.
Ku ambil kembali lembar kesan pesan yang ia
tuliskan untukku. Ku minta Siska memegang tas kecilku sementara aku membuka
kembali lembaran kertas yang Dana berikan tadi. “Fitri, sosok bidadari setengah sayap yang sedang mencari kembali sayapnya
yang hilang di bumi ini. Kesana kemari telah ia rampungkan pencariannya itu,
namun ku tak tahu apakah ia menyadari bahwa sayap yang ia cari sebenarnya tepat
berada di hadapannya saat ini.”
“Aku
gak mengerti maksud kamu, Dan. To the point saja lah, sudah malam...”
Balasku memaksanya.
“Fitri,
will you be my girl, Darling? I think you’re fated to be mine.. (Fitri, maukah
kau menjadi pacarku, Sayang? Aku yakin kau ditakdirkan untuk menjadi milikku)”
Pintanya menggunakan bahasa inggris, yang memang merupakan keahlianku saat ini.
“Astaghfirullah...”
Ku hanya bisa beristighfar menghadapi semua ini terjadi kepadaku. Ku tak habis
pikir ternyata Dana mengatakan itu semua kepadaku, malam ini. Astaghfirullah...
Bukankah dulu sudah kuingatkan dia, aku memiliki prinsip hidup untuk tidak
membiarkan diriku terjerembab ke jalan yang dinamakan pacaran? Bukankah dulu
pun sudah ku jelaskan mengapa aku tak mau melakukan itu? Tapi kenapa, kenapa
Dana tak mau menghargai prinsipku itu? Kenapa dia memilih jalan sempit untuk
mengajakku berpacaran? Jujur, rasa sayang ku padanya mulai pudar semenjak
kejadian ini terjadi. Rasa kecewa padanya mulai muncul dalam benakku. Ya, aku
tak suka dengan orang yang selalu memaksakan kehendaknya apalagi untuk merusak
prinsip hidup orang lain. Aku memiliki prinsip hidup, Dan, aku cuma ingin kamu
mengerti betapa berharganya prinsip hidupku yang satu ini. Maafkan aku, Dan,
aku tak bisa menerima dirimu. Walau berat rasanya, tapi inilah pilihanku,
kuharap kau mengerti, Dan.
Akhirnya kuceritakan ini semua pada Nafi. Ku
ceritakan kejadian memilukan ini padanya. Ku gambarkan pula bagaimana
perasaanku saat ini. Sakit. Ku curahkan betapa sakitnya perasaan ini karena
kejadian itu. Tak pernah ku merasakan sesakit ini. Kalau boleh ku ibaratkan
semua ini, Dana lah satu-satunya orang yang telah berhasil membawaku ke puncak
tertinggi dari sebuah menara, dan Dana juga lah yang telah berhasil mendorongku
terjatuh ke bawah menara tersebut. Astaghfirullah...
Setelah ku ceritakan semua yang terjadi
padaku malam ini, hanya sedikit sekali respon yang Nafi berikan untukku. Namun
sedikit respon itu kurasakan sangat berarti bagiku. Sepenggal kalimat yang ia berikan
yang mampu menampar diriku dari segala keputusan-keputusanku selama ini.
Kalimat yang takkan pernah kulupakan sampai akhir hayatku insya Allah, “Entah dulu aku pernah mendengar langsung
darimu atau memang hanya simpulanku selama aku dekat denganmu, ingatlah kawan, Tiada cinta yang lebih indah dari cinta
kepada-Nya.”
Memang benar dugaanku. Hanya Nafi lah satu-satunya
orang yang mampu mengerti keadaan dan kebutuhanku saat ini. Sedikit sekali nasehat
darinya menurutku sudah lebih dari cukup untuk bisa memotivasiku kembali berpikir
optimis menjalani kehidupan. Terimakasih sahabatku atas segala nasehatmu...
Semoga Tuhan membalas semua kebaikanmu kepadaku.
Semenjak kejadian itulah aku semakin dekat
dengan Nafi. Tepat dua bulan sudah lamanya ku lewati masa-masa suram KKN. Hari
ini, saat ini, banyak sekali pelajaran yang dapat kuambil dari pengalamanku
itu. Nafi, ya, Nafi lah yang berperan menghadirkan pembelajaran itu padaku. Ia
lah yang berhasil membuka pikiranku akan kehidupan yang fana ini. Pernah ia menasehatiku, “Hidup ini sementara kok. Jadi suka gak suka kamu harus tahu dan mau
menjalani kodratmu sebagai manusia. Apa tujuan hidup manusia? Hanya 2, ibadah
(QS 51:56) dan khalifah (QS 2:30). Maka itu, yuk ah lebih giat lagi beramar
ma’ruf nahi munkar...”
Banyak sekali nasehat yang telah kudapat dari
seorang Nafi. Sudah tak dapat kuhitung lagi betapa banyak jumlahnya itu. Namun
satu hal yang pasti dalam hidupku saat ini, entah mengapa setiap kali ku
selesai berhubungan BBM atau chat medsoc
dengannya, selalu terlintas dalam pikiranku, mungkinkah kelak aku akan
mendapatkan sosok suami sebaik Nafi? Ataukah mungkin Nafi, sahabatku, yang akan
memilihku menyempurnakan agamanya? Ah, tak mungkin. Tak mungkin ia akan memilih
sosok wanita hina sepertiku. Sosok wanita yang tak bisa menjaga perasaannya
untuk laki-laki yang dikaguminya. Sosok wanita yang telah hampir terjerembab
akan nistanya sebuah pacaran. Nafi diciptakan untuk wanita yang baik, bukan
untukku. Terbukti, hampir satu bulan lamanya ku tak berhubungan lagi dengannya.
Entah karena kesibukan kami masing-masing, atau memang dia tak mau lagi
berhubungan denganku.
Oh Tuhanku
yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang...
Kali ini
akan kutuliskan surat untuk-Mu...
Surat yang
menggambarkan isi hatiku sebagai hamba-Mu, ya Tuhan...
Oh
Tuhanku...
Ku sadari ku
telah salah dalam menilai nikmat-Mu yang telah Kau berikan padaku...
Ku sadari
kelalaianku oleh karena sifat berlebihan yang aku miliki ini, ya Tuhan...
Kau berikan
hati ini, perasaan ini, ada dalam diriku...
Dan Kau
biarkan hati ini, perasaan ini, bermain-main dalam setiap langkah hidupku...
Aku salah,
ya Tuhan... Aku telah salah menilai nikmat-Mu ini...
Kalau bisa
kuputar kembali waktu dengan seizin-Mu, ku berjanji dengan seluruh kemampuan
dan jiwaku, tak akan ku biarkan diri ini melakukan hal bodoh macam ini, ya
Tuhan... Tak akan ku biarkan hati ini, perasaan ini, dengan santainya
bermain-main dalam kehidupanku, ya Tuhan... Ku sadari ku telah gagal memaknai fungsi
dari hati yang Kau berikan ini, ya Tuhan... Ku sadari ku telah gagal
menyempurnakan peran dari perasaan yang Kau anugerahkan ini, ya Tuhan...
Oh
Tuhanku...
Kalau boleh
ku meminta sekali lagi pada-Mu...
Kalau boleh
ku memohon satu hal kepada-Mu...
Aku memohon
kepada-Mu, ya Tuhan... Lumpuhkan lah saja ingatanku...
Lumpuhkan
semua ingatanku tentang kesalahanku ini, ya Tuhan...
Lumpuhkan
semua memori tentang betapa bodohnya diriku ini, ya Tuhan...
Jangan
biarkan hati ini, perasaan ini, kembali menyesali
kelalaian yang telah ia perbuat...
Ku pahami semuanya
memang telah terjadi... Tak ada guna ku sesali penyesalanku ini, saat ini...
Aku pun
sadar, Kau lah Dzat Yang Maha Pengampun, Kau lah Dzat Yang Maha Penyayang, dan
Kau lah Dzat Yang Maha Membolak-balikkan hati seseorang, ya Tuhan...
Dengan
ditulisnya surat ini, ku berharap semoga segala kelalaian yang telah ku perbuat
pada diriku di masa lalu dapat kau Ampuni...
Ku berharap
semoga Kau dapat menjadikanku sosok Hamba yang selalu taat terhadap
perintah-perintah-Mu...
Ku berharap
semoga pada akhirnya nanti ku dapat bertemu dengan-Mu di surga yang Kau
janjikan itu, ya Tuhan...
Sungguh
tak ada daya dan upaya kecuali dari-Mu, ya Tuhan Pemilik Semesta Alam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar