“Pit,
kapan giliran mu? Tinggal kamu nih yang belum...”
Itulah selintas pertanyaan yang seringkali
keluar dari mulut sahabat-sahabat SMA ku. Tepatnya hari ini merupakan hari yang
sangat berkesan bagi salah satu sahabatku itu. Hari ini lah yang akan selalu ia
ingat dalam hidupnya, pasalnya tepat pada hari ini, Jumat 4 hari setelah
perayaan tahun baru masehi berlangsung, seorang pria bersedia memilihnya untuk
mengarungi kehidupan bersama. Selamat menempuh hidup baru sahabatku, Ria
Suciati, semoga Tuhan memberkahi setiap langkah hidup kalian dan menjadikan
kalian keluarga yang sakinah mawadah dan dirahmati-Nya.
Namaku Nurfitri Adawiyah, teman-temanku biasa
memanggilku Pipit atau Fitri. Aku terlahir dari keluarga sederhana. Abi (ayah)
ku bukanlah seseorang yang dikenal khalayak ramai, ia hanyalah seorang
laki-laki Muslim biasa yang menurutku ia lah sosok laki-laki yang paling langka
di dunia ini. Jarang sekali aku menemukan sosok laki-laki seperti abiku ini.
Kasih sayang terhadap keluarga paling ia prioritaskan dalam hidupnya. Meski
tidak setiap hari kami bertatap muka di rumah kesayangan kami, hanya seminggu
sampai dua minggu dalam selang waktu enam bulan tepatnya, namun kurasakan hal
yang sangat unsual di setiap abiku
datang ke rumah seraya menghampiriku, menanyakanku kabar kesehatan maupun kabar
kuliahku. Ah, miss you so much, Bi. Umi
(ibu) ku adalah sosok wanita tangguh yang pernah ku kenal. Tak mampu
kugambarkan sosok tangguh, sabar, dan berprinsip kuat umiku itu. Hanya satu
kata yang dapat menggambarkan semua karakter umiku, you’re so so so awful Mom, Mi. Tetes air mata tak dapat kubendung
saat ini melihat sosok umi mengunjungi kamar kosku dan mengantarkanku masakan
favorit buatannya.
“Pit,
jadi kapan kamu berangkat KNN?” Tanya umiku lembut di saat kubereskan piring
kotor bekas makan umi, aku, dan adik-adikku.
“KKN
umi, Kuliah Kerja Nyata, bukan KNN. Oh itu, insya Allah lusa, Mi. Kenapa gitu?”
Balasku sembari sibuk menata piring kotor ke samping karpet yang kami duduki.
“Iya,
kalau gak ada halangan, insya Allah umi mau antar Pipit ke desa nanti. Jadi
nanti sore umi pulang, ambil baju buat nginap di sini, dan besok umi ke sini
lagi.” Jelas umiku masih dengan suara lembutnya.
“Ih,
Umi, gak usah. Nanti Pipit bareng dosen dan teman-teman kok berangkat ke
desanya, naik bus dari universitas. Kalau umi besok ke sini lagi, masa umi tega
ninggalin Fahri di rumah sendirian? Dia kan masih ada sekolah besok.” Tolak
ku hati-hati seraya menjelaskan keadaan yang sesungguhnya.
Fahri adalah salah satu adikku. Saat ini ia
masih duduk di kelas IX SMP. Tepat pertengahan tahun nanti, insya Allah akan
kulihat dia menggantungkan pakaian putih-birunya, dan menggantinya dengan
pakaian putih-abuabu. Selamat berjuang di Ujian Nasional adikku, Fahri,
tersayang. Semoga Tuhan selalu merahmatimu, jangan lupa sholat dan berdoa ya
sayang...
Hari ini pun tiba. Ku lihat puluhan bus
terparkir menemani jalanku menuju bus keberangkatanku. Kulihat pula hampir
seribu mahasiswa seperjuanganku sibuk dengan barang bawaannya masing-masing. Ya,
hari pemberangkatan KKN pun tiba. Satu bulan ke depan yang akan menguji
kepribadianku, layakkah aku berada di tengah-tengah masyarakat dengan ilmuku
yang telah kudapat ini? Tak sabar rasanya inginku menyegerakan waktu itu
terjadi.
“Assalamu’alaikum...
Ini ya bus kita?” Sapa seorang laki-laki yang kupikir ia lah teman
sekelompok KKN ku.
“Iya,
langsung masukkin aja barang-barangnya ke bagasi, Fi.” Jawab Rahma sembari
menunjukkan bagasi yang dimaksud.
“Iya,
nanti kalau sudah ditaruh, langsung temui Dana buat absen ya. Kalau gak salah
tadi dia di sebelah sana.” Timpalku menunjukkan arah samping bus tempat
Dana, Koordinator Kelompok (Kordes) kami, berada.
Kelompok KKN ku terdiri atas 20 orang dari
berbagai fakultas. Aku sendiri berasal dari jurusan sastra inggris bersama dua
temanku yang lain, Rahma dan Siska. Entah atas dasar apa, dalam kelompok KKN
ini teman-teman mempercayaiku sebagai sekretaris sekaligus bendahara kelompok.
Itu tandanya selama satu bulan ke depan tanggungjawab besar akan kupikul selama
ku berada di desa KKN. Deadline laporan yang dosen pembimbing minta, ditambah
uang bulanan kelompok yang harus aku manage
agar kami tak kekurangan di desa nanti. Luar biasa sekali pengalaman KKN ku
kali ini. Walaupun belum kutempuh bagaimana rasanya hidup sebagai mahasiswa
KKN, rasanya sudah kurasakan berat punggung ini memikul semua amanah dan
jabatan yang aku pegang.
Hari pertama ku lalui KKN ini dengan cukup
lancar. Kuingat saat-saat ku berbicara di depan 19 temanku yang lain saat rapat
perdana kami di tempat penginapan yang kami sewa. Ku katakan saat itu jumlah
uang yang harus terkumpul dari masing-masing orang demi kebutuhan hidup kami
satu bulan ke depan. Ya, sebelumnya aku dan temanku Rahma sudah
menghitung-hitung perkiraan uang yang dibutuhkan untuk menghidupi 20 orang
mahasiswa di desa KKN ini. Awal yang baik menurutku.
“Pit,
adakah rencana setelah kuliah nanti?” Tanya sosok laki-laki yang tak asing
bagiku.
“Ada,
Dan. Insya Allah aku akan meneruskan studiku ke luar negeri, lalu balik ke
Indonesia dan mengajar sebagai dosen. Ada apa?” Jelasku singkat.
“Lalu,
rencana nikah di umur berapa? Apa tanggapanmu kalau saat wisuda nanti aku
datang menghampiri abi kamu dan saat itu juga ku lamar kamu?” Lanjutnya
dengan mimik muka yang sangat serius.
“Krriiiing...
Krriiiiing.... Krriiiing...” Suara alarm HP ku berbunyi.
Aku pun terbangun dari tidurku. Ah, ternyata
semuanya hanya mimpi. Ku lihat jam di HP ku, ternyata waktu menunjukkan pukul
03.45 pagi. Astaghfirullah... Apa maksud mimpiku itu? Mengapa ada Dana di
mimpiku kali ini? Apakah Dana menaruh rasa padaku? Ah tidak. Mana mungkin ia
menginginkan sosok wanita kecil sepertiku. Kalau Rahma atau Siska mungkin saja,
karena memang mereka jauh lebih pantas dariku. Apalah artinya seorang Fitri di
hadapan sosok laki-laki tampan seperti Dana. Aku pun lantas beranjak dari kasur
tempat tidurku menuju kamar mandi untuk persiapan sholat shubuh.
Pikiran itu terus saja terngiang dalam
benakku. Setiap kegiatan yang kulakukan di desa kurasakan hambar. Tiba-tiba
saja kurasakan bad mood pagi ini.
Bukan karena tak ada sesuatu yang menarik perhatianku di desa KKN ini, hanya
saja ku tak bisa berhenti memikirkan arti mimpiku semalam. Tepat di hadapanku
kali ini duduklah seorang pria tampan, dengan potongan rambut cepak, hidung
sedikit mancung, mata tajam, dan badan cukup kekar. Ia lah Dana, kordes
kelompok kami, sosok pria yang muncul di mimpiku semalam. Ah, mengapa harus
Dana?
“Ma,
aku lagi bad mood nih. Aku mau cerita boleh?” Pintaku manja kepada
sahabatku Rahma di tengah jam makan siang.
“Kenapa,
Pit? Jarang-jarang loh sosok Pipit yang tegas bisa manja kayak gini. Hehehe...
Kayaknya serius ya?” Jawabnya meledekku.
Akhirnya kuceritakan semua hal yang
mengganjal diriku. Ku ceritakan kronologi mimpiku semalam. Walau awalnya agak
enggan ku ceritakan semua ini padanya, tapi kupikir apalah gunanya memendam
perasaan. Apalah gunanya ku memendam perasaan yang kurasa mungkin dapat
mengganggu semua kegiatanku di desa KKN ini. Rahma pun tak mengira aku bisa
bermimpi seperti itu. Ia terkaget sampai-sampai berulang kali bertanya
memastikan kepadaku, “Hah!? Apa, Pit?
Dana?” Akhirnya kutegaskan padanya, “Iya,
Rahma ku sayang, Dana sang kordes kita.” Rahma pun masih belum percaya akan
cerita mimpiku ini. Masih saja ia meledekku tanpa menghiraukan perasaanku yang
sesungguhnya.
Benar saja dugaanku, seorang Rahma pun seolah
tak percaya aku memimpikan Dana. Perasaanku tak dapat ku gambarkan kali ini.
Penasaran, takut, senang, tak menyangka, semuanya bercampur jadi satu. Ah,
mengapa ini semua terjadi di awal KKN ku?
“Pit,
laporan kegiatan kemarin bagaimana? Siapa yang buat?” HP ku berbunyi
pertanda sebuah BBM (Blackberry Messenger)
telah masuk. Ku buka dan ku baca ternyata Dana lah sumber pengirim sms
tersebut. Perasaanku semakin tak menentu setelah membaca sms yang masuk di
tengah lamunanku ini. Ah, rasanya inginku pulang saja menemui umi dan bercerita
semuanya. Umi, aku butuh kehadiranmu saat ini.
“Ya
Tuhan, aku tak mengerti perasaanku saat ini. Mengapa ia tiba-tiba hadir dalam
mimpiku semalam? Sejujurnya aku tak ingin memunculkan perasaanku ini, ya Tuhan.
Aku tak ingin rasa cintaku pada-Mu terkikiskan akibat perasaan cintaku pada
makhluk-Mu satu ini. Tapi sesungguhnya aku tak berdaya, ya Tuhan. Aku tak
berdaya menghilangkan perasaan ini dari pikiranku. Ku akui makhluk-Mu yang satu
itu bukanlah sosok yang buruk menurutku. Jika memang dia lah orang yang Kau
pilih untukku, maka tunjukkanlah jalan yang terbaik menurut-Mu. Dan jika memang
inilah jalan yang Kau kehendaki untukku, maka mudahkanlah urusanku ini, ya
Tuhan. Sungguh, tak ada daya dan upaya kecuali dari-Mu, oh Tuhanku...” Ku
lantunkan sebaris doa menemani tidurku malam ini.
“Krriaaaakkk...”
Ku dengar pintu rumah terbuka dari arah luar kamarku pagi ini. Terdengar
percakapan dua orang laki-laki yang suaranya cukup familiar di telingaku. Rasa penasaran tiba-tiba muncul untuk
memastikan sumber suara tersebut. Namun ku sadar, kali ini ku sedang tak
memakai hijab. Dan tak ada gunanya juga ku keluar saat ini. Lagian kupikir
mereka berdua hendak pergi ke masjid memenuhi seruan Tuhannya, mendirikan
sholat shubuh berjamaah. Ya, akhirnya kuputuskan beranjak dari kasurku menuju
kamar mandi di kamarku untuk persiapan sholat shubuh. Tak lupa juga kubangunkan
rekanku yang lain untuk mengingatkan adzan shubuh akan segera berkumandang.
Rasa kesal tiba-tiba muncul pagi ini.
Ternyata BBM yang kukirim untuk kordes, terkait daftar orang yang akan ikut
berkunjung ke rumah Pak Kepala Desa hari ini, tak terkirim kepadanya. Ku lihat
ceklis polos tanpa huruf D maupun R pada layar HP ku ini. Arrghh, betapa mengesalkannya, kupikir. HP ku yang error atau memang jaringan HP dirinya
yang kurang bagus di sini. Setelah ku pikir-pikir, ku ingat shubuh tadi seorang
teman laki-lakiku lain yang memang sekamar dengannya telah bangun. Akhirnya
kuputuskan untuk menyandarkan amanahku dalam mendata pembagian kegiatan
kelompok kepadanya. Ku kirimkan sms daftar pembagian kelompok kepada temanku
itu, Nafi. Seorang laki-laki atau bisa kusebut ikhwan yang memang tak terlalu
banyak berbicara pada saat rapat maupun evaluasi kelompok. Semoga Nafi segera
membaca smsku, dan menyampaikannya kepada kordes.
Seminggu berlalu semenjak ku tapakkan kakiku
di desa ini, ku amati setiap pagi selalu saja terdengar percakapan dua orang
laki-laki dari arah luar kamarku. Merasa tak ingin melewatkan sebuah momentum
penting, akhirnya kuputuskan pagi ini aku harus bisa memastikan siapa kedua
laki-laki tersebut. Segera saja setelah ku terbangun dari tidurku, kuraih
hijabku dan menuju kamar mandi untuk sekedar mencuci muka. Tepat saat kubuka
pintu kamarku, terpampang jelas dihadapanku dua orang laki-laki berpenampilan
rapi plus sebuah peci terpasang indah
di atas kepalanya tersenyum menyapaku. Aku pun terkaget, seraya membalas
senyumannya. Lantas setelah mereka keluar rumah menuju masjid, ku kembali
menuju kamarku untuk bersiap-siap mendirikan sholat shubuh. Ah, perkiraanku
ternyata salah. Tak ada sosok laki-laki yang selama ini ku kira ia lah satu di
antara dua orang yang rajin sholat shubuh di masjid itu. Ya, awalnya ku kira
Dana lah salah satu di antara dua orang tersebut. Namun ternyata perkiraanku
salah, mereka lah Riyan dan Nafi, dua orang temanku yang lain. Antara lega dan
tak nyaman perasaanku saat ini. Lega, karena akhirnya telah ku ketahui siapa
kedua orang yang selama ini membuatku penasaran itu. Tak nyaman, karena kupikir
mengapa tak ada sosok Dana di pagi itu.
“Pit,kata
Aa Dana, dia mau ajak kamu berdua doang datang ke balai desa besok pagi, bisa
kan?” Ku baca pesan dari grup BBM di HP ku malam ini. Dia lah Ari, teman
laki-laki sekelompokku, yang mengirimkan pesan di grup BBM itu. Aku pun
terkaget, antara percaya tak percaya. Mana mungkin seorang Dana mengajakku
hanya berdua saja menuju balai desa. Ah, mungkin memang ia ingin kita lah
perwakilan mahasiswa KKN yang akan membahas kegiatan kami selama sebulan ke
depan dengan aparatur desa esok hari. Ya, kupikir memang tak perlu orang banyak
juga untuk membicarakan hal tersebut dengan aparatur desa.
“Pit,
ada salam dari Aa Dana. Salam kangen katanya...” Ku baca kembali pesan
dalam grup BBM. Tersentak saja ku rasakan emosi yang mendalam setelah melihat
pernyataan yang ku baca tersebut. Lagi-lagi Ari berulah dalam grup BBM. Sentak
ku luapkan emosiku dalam grup tersebut. Okelah bercanda, tapi mengapa harus aku
dan seperti itu caranya. Sejujurnya aku tak suka dengan segala bentuk pem-bully-an, baik itu ditujukan untukku
maupun orang lain. Menurutku, apa sih manfaatnya mem-bully orang? Bercanda? Okelah, tapi haruskah dengan jalan mem-bully? Tak abis pikir ku memikirkan hal
itu. Sungguh moral yang kurang baik menurutku.
Dua hari berlalu semenjak tragedi memalukan
itu, muncullah kembali pesan dari grup BBM. Kali ini bukanlah pem-bully-an yang kudapati, hanya saja menurutku
mungkin inilah jawaban atas keraguanku selama ini. Ya, sedikit ku tak menyangka
dengan keadaan yang ada saat ini. “Fitri cewek yang cantik. Kepribadiannya
juga mengesankan. Baru kali ini aku bertemu dengan tipe cewek seperti dia.”
Itulah sebagian kutipan yang kubaca di grup BBM kali ini. Seseorang telah
memujiku. Ah, betapa romantisnya makhluk-Mu yang satu ini, ya Tuhan. Sempat ku berpikir,
mungkin ini hanya jebakan si Ari yang membajak HP sang kordes untuk kemudian
menuliskan ini semua seolah-olah pesan ini adalah darinya. Tapi ku berpikir
ulang, kalau benar ini pure merupakan
hasil tulisan Kordes, lantas apa maksud ini semua?
“Ya
Tuhan, semakin jelas saja Kau tunjukkan jalan-Mu ini. Aku yakin Kau memberiku
ini semua agar aku senantiasa berpikir, Fabiayyi alaa irobbikuma tukadz dziban,
nikmat Engkau yang mana lagi yang dapat ku dustakan. Ya Tuhan, terima kasih
atas semua petunjukmu ini. Mudahkanlah urusanku, ya Tuhan...” Semakin yakin
saja perasaanku berkata bahwa inilah kehendak-Nya. Ku yakin, Ia telah
mengabulkan doaku dan menunjukkan kepadaku jalan terbaik-Nya. Baiklah, aku
harus menjadi seorang Fitri yang lebih baik lagi agar aku dapat memuaskan dirinya.
Oh Dana, kutunggu dirimu di sini, wahai
pujaan hati... Ku tak akan biarkan hati ini terisi selain isian darimu, Dana
ku. Ku yakin, seyakin yakinnya, kau tercipta di dunia memang untukku. Tuhan
telah memenuhi doaku. Ku berharap semoga cinta kita ini tak sebatas cinta dua
insan yang merindukan kebahagiaan hidup, ku berharap semoga cinta kita ini adalah cinta yang
berlandaskan cinta kepada-Nya. Di sini ku terdiam menunggu pinangan darimu,
wahai Dana, pujaan hatiku... Tunjukkan pada dunia, aku lah orang yang beruntung
yang mendapat pinangan sehidup semati darimu.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar